Rabu, 31 Juli 2013

Six Sigma

Six Sigma telah menjadi perbincangan dan bahkan telah menjadi simbol tentang kesempurnaan dibidang kualitas. Berbagai pendapat telah mengulas mengenai The Origin os Six Sigma, sebagai misal yang ada di ISix Sigma[1] Masing-masing dengan perspektifnya. Apakah Six Sigma itu ?
Pertama, kosa kata Sigma itu memang digunakan untuk menandai hal yang sama yaitu deviasi terhadap mean atau rata-rata dalam quality control techniques.  Walter A. Shewhart[2] adalah founding father[3]Statistical Process Control atau SPC.  Dalam SPC, sigma dengan notasi σ, digunakan untuk menandai satuan besar penyimpangan atau deviasi terhadap rata-rata sehingga bisa ditetapkan Upper Control Limit dan Lower Control Limit. Satuan sigma dalam SPC ini pada dasarnya sama dengan satuan sigma dalam distribusi Gauss[4] Kurva Gaussian Normal adalah continous distribution yang termasuk dalam kelompok bell shape, dengan expected value μ dan variance σ2. Kurva ini simterik ini menjelaskan bahwa kurva simetrik itu juga mempunyai deviasi simterik pula, yaitu  σ= ± 1, σ= ± 2, dan σ= ± 3 . Jadi, notasi σ atau yang diucapkan dengan sigma memang notasi umum yang digunakan dalam Statistik sejak jaman Gauss untuk distribusi Gauss hingga ke Walter Shewhart untuk Statistical Process Control.
Gaussian2
Gauss distribution juga memberi gambaran luas wilayah pada masing-masing interval deviasi. Antara -1σ ke +1σ : 68.26%, -2σ ke +2σ : 95.44%, dan -3σ ke +3σ : 99.72%. Dengan demikian cukup jelas bahwa notasi σ atau sigma yang telah digunakan oleh Gauss dalam distribusinya tetap digunakan pula oleh Walther A. Shewart untuk SPC-nya. Memang ada ada berbagai macam SPC, namun dasarnya tetap sama. Penetapan parameter -  Sigma dalam SPC pada dasarnya tergantung kepada manajemen, Semakin besar  Sigma, misal 3σ berarti kontrol semakin longgar, namun sebaliknya semakin kecil Sigma misal 1σ maka semakin ketat kontrol.
spc
Ke dua, Six Sigma Motorolla. Fenomena zero defect di Toyota Production System telah membuat gerah tim SPC Motorola. Kerja Deming, Juran, dan Crosby yang mencoba untuk menyibak fenomena Japanese Management Practices itu, masing-masing dengan preposisinya,  tampaknya belum memenuhi rasa penasaran mereka. Maka, Motorolla mengembangkan sebuah model untuk menandai tingkat pencapaian kualitas dengan meng-inovasi distribusi Gauss dan SPC. Lahirlah Six Sigma Motorola[5].
Inovasi yang dilakukan oleh Motorola terhadap SPC nya Shewart ada dua, yaitu:
memperlebar deviasi dari 3σ menjadi 6σ. Sebagai sebuah pdf atau probability density function [6] pelebaran deviasi dari 3σ menjadi 6σ ini membawa digit sampai sembilan untuk 6σ.
Six Sigma6
  • mengkonversi skala deviasi menjadi setara dengan skala ppm kependekan dari Part Per Milion defect. Perhatikan bahwa 6σ berarti 0.02 ppm, atau dalam satu juta parts yang dihasilkan terdapat 0.02 yang cacad. Dengan demikian, bisa dibayangkan dengan mudah bila menghasilkan satu milyar parts maka akan ada 2 parts yang tidak memenuhi spesifikasi. Bayangkan! Inilah mungkin target zero defect-nya Motorola.
Six Sigma5
Namun demikian, meskipun stadard deviasi digeser ± 1.5σ maka proses tidak akan mungkin lebih baik dari 3.4 ppm atau 2 ppb atau part per billion defects. Maka, standard ini selanjutnya menjadi target kemampuan Motorola dibidang  disain produk, produksi, dan pelayanan pada tahun 1992[7]
Six Sigma4
Dalam perkembangan selanjutnya, Six Sigma telah menjadi sebuah metoda untuk contionous iprocess mprovement dengan metodologi tertentu yang dikembangkan oleh berbagai lembaga[8]. Juga, Six Sigma yang pada awalnya dikembangkan oleh Motorola telah menjadi icon bagi jaminan kualitas sebuah lembaga konsultan. (http://fe.uajy.net/fs/as/

Push vs Pull System

Dalam disiplin ilmu Manajemen Operasi,  dikenal dua macam proses yaitu Job Shop untuk memenuhi permintaan pemesan dan Flow Shop untuk memenuhi permintaan pasar. Maka, sesuai perkembangan ilmu pengetahuan dengan lingkungan budayanya, muncul paradigma Push System yaitu propoduksi berdasar rencana bukan kebutuhan yang sudah ada.


Proses1 
pull4


Kunci pengendalian Push System sepenuhnya berada ditangan supervisor dan inspector. untuk menjamin bahwa persediaan dan produk yang dihasilkan seperti yang direncanakan dan dikehendaki. Pada setiap titik proses peran Inspector dan Supervisor tersebut sangat menentukan.
pull6


Paradigma tersebut berubah sejak pratek manajemen di Gemba berorientasi pada elimnasi Muda atau Waste, yaitu segala sesuatu yang tidak mempunyai nilai tambah. Paradigma baru ini lebih memperhatikan Non Added Value yang harus dieliminasi untuk meningkatkan produktivitas sistem operasi. The new of thingking, the new way of looking.
Inspector menurut praktek di Gemba dipandang sebagai Muda atau Waste karena tidak memiliki Nilai Tambah atau Non Added Value. Inilah awal berangkat perubahan paradigma itu. Maka, Pemasok atau Supplier harus mengirim barang sesuai dengan permintaan dimana kepercayaan adalah dasarnya. Inspector dilihat sebagai Muda yang harus dieliminasi. Inilah awal perubahan yang memicu berbagai perubahan di Manajemen Operasi seperti Persediaan secukupnya, Cacad Nol,Tata Ruang, Inovasi Teknologi, dan Perilaku pekerja yang berdampak dipenurunan biaya dan bermuara di kenaikan laba serta perbaikan Return On Investment


pull7

Gerakan Eliminasi Muda berdampak pada penghapusan fungsi Inspector yang dipandang sebagai Muda di Gudang bahan baku. dan Supplier harus memasok sesuai dengan kebutuhan operasi. Praktek di Gemba ini unik dan sangat kental dengan pengaruh budaya di Jepang dimana kepercayaan dan harga diri dijunjung tinggi
pull8

Selanjutnya, Inspector dan Supervisordiproses juga dipandang sebagai Muda sehingga harus dihilangkan. Dikenal Jidoka atau pemberian wewenang yang lebih besar kepada mereka yang terlibat dalam proses. Menurut Allan, CEO Xerox, mereka yang paling dekat masalah adalah yang paling tahu masalah. Maka, setiap orang bertanggung jawab terhadap masalah yang muncul ditempat kerja dan lingkungannya, JIDOKA
pull9

Setiap orang kemudian bertanggung jawab terhadap kualitas pekerjaan yangdihasilkan. Sekali lagi, dasarnya adalah kepercayaan dan nuansa budaya sangat kental dimana sangsi sosial lebih dominan dibanding sangsi administratif. Bekerja tidak baik adalah cemar diri, maka bekerja baik adalalah martabat. Jadi Supervisor dan Inspector tidak berkeliaran di Gemba karena itu akan dipandang sebagai Muda.
pull11

Ketika proses telah baik demikian pula tahap sebelumnya, maka output proses dijamin baik sehingga Inspector produk jadi atau hasil akhir otomatis menjadi Muda. Reworkatau Scrap juga dilihat sebagai muda maka harus dihilangkan. Pertanyaannya sekarang adalah, Quality Cotrol System berada dimana?QCS berada di setiap proses yang melibatkan manusia. Mungkin istilah Total QualityManagement atau Total Quality ControlSystem menjadi lebih jelas disini.
pull10

Ketika seluruh tahapan proses sejak input hingga ke output benar dan setiap proses ditujukan untuk  memenuhi kebutuhan proses berikutnya dimana ditahap akhir adalah konsumen, maka definisi kebutuhan dan spesifikasi output sebenarnya dibuat oleh konsumen. Inilah sebenarnya esensi dari Pull System yang merupakan anti tesa dari Push System.
pull3

Tiga kalimat bertuah yang terpampang dalam papan besar tergantung diberbagai tempat di Gemba Honda. Artinya, tiga kalimat bertuah itu adalah sistem nilai atau values system yang harus dimiliki oleh setiap orang yang terlibat didalam proses. Ketika sistem nilai tersebut menjadi dominan maka budaya organisasi untuk bekerja baik guna menghasilkan hasil kerja yang baik menjadi sebuah kebiasaan yang dilakukan tanpa beban..
pull12

Ketika 3 Don’t itu telah menjadi sebuah sistem nilai maka dari Pemasok hingga kebagian akhir proses sebelum produk sampai ke tangan konsumen,  setiap orang pada setiap proses dengan sub-sadarnya tidak menerima produk atau pekerjaan cacad dari bagian sebelumnya, tidak membuat produk cacad, dan tidak mengirim produk cacad ke bagian berikutnya.


The new way of looking, the new way of thinking akhirnya menjadi sebuah pemicu perubahan yang berbeda sama sekali dari kebiasaan dan kebenaran dunia operasi sebelumnya. Akhirnya, mandat untuk eliminasi Muda itu ditandai berdampak pada Cost Reduction, Inventory Reduction, dan Quality Improvement yang memunculkan fenomena Zero Defect dan Few Inventory..

Supply Chain Management

Stepping stone for other’s endeavour

Supply Chain Management

Pull System telah membuka cakrawala pemikiran baru mengenai efisiensi yang bisa ditingkatkan bila hubungan bisnis dengan supllier bisa ditata sedemikian rupa sehingga  organisasi bisa memperoleh input yang dibutuhkan tepat waktu, tetapi jumlah, dan tepat kualitas.
Maka, muncul eksplorasi baru dibidang disiplin ilmu Operations Management yang melihat setiap organisasi adalah mata rantai sistem operasi sejak hulu dimana input paling awal berasal hingga hilir dimana utput langsung dinikmati oleh pengguna akhir atau ultimate consumer. Dalam hal ini, Russell & Taylor [1] membuat beberapa batasan:
A supply chain is made up of the interrelated organizations, resources, and processes that create and deliver products and services to end customers.
A supply chain encompasses all the facilities, functions, and activities involved in producing and delivering a product or service, from suppliers (and their suppliers) to customers (and their customers). It includes planning and managing supply and demand; acquiring materials; producing and scheduling the product or service; warehousing, inventory control, and distribution; and delivery and customer service.
Supply chain management coordinates all these activities so that customers can be provided with prompt and reliable service of high-quality products at the least cost. Successful supply chain management in turn can provide the company with a competitive advantage.
Jadi, secara sederhana, Supply Chain Management bisa dipikirkan sebagai manajemen terhadap unit-unit produktif yang saling berhubungan dalam menghasilkan produk maupun jasa.
SCM
System 0 adalah pemasok System 1, System 1 adalah pemasok System 2, demikian seterusnya mata rantai itu terajut. Dengan demikian, domain manajemen menjadi lebih luas dan bukan hanya manajemen sistem dimana organisasi berada, tetapi juga rangkaian sistem yang dilalui oleh proses bisnis. Maka, seorang tokoh Manajemen Operasi Indonesia menyebut Supply Chain Management adalah Manajemen Operasi.
Tentu saja, model ini menghendaki cara pandang dan cara pikir baru mengenai hubungan antara produsen dan konsumen. Bentuk bisnis baru tersebut tentu saja dikehendaki berbeda dari bentuk lama dimana semangat kompetisi yang kental mewarnai diubah menjadi semangat kompetisi dalam kerjasama agar menghasilkan produk atau jasa yang semakin murah, semakin cepat, dan semakin baik.
Sebenarnya, dari sisi konsep manajemen, SCM tidak ada yang baru., paling tidak dari empat perspektif:
Pertama, di dunia ini tidak ada Single Economic Activity, kecuali dunianya Daniel Defoe[persepsi konsumen.
pull11
Pull System memberi inspirasi mengenai bagaimana manajemen sub-sub sistem pemasok di-integrasikan ke manajemen sistem utama sehingga memungkinkan pasokan input tepat waktu, tepat jumlah, dan tepat kelualitas. Ternyata pengalaman tersebut membuahkan hasil yang lebih baik bagi bagi sub-sub sistem dan sistem utama. Kata kunci adalah pada kepastian pesanan sehiingga resiko ketidakpastian dihilangkan.
Ke tiga, dalam paradigma persaingan menurut Porter, perusahaan dihadapkan pada iima kekuatan yaitu [1] Persaingan dalam industri, [2] Konsumen, [3] Pesaing potensial, [4] Barang substitusi, dan [5] Pemasok.
Porter
Dalam hal ini, model Porter ini menjelaskan model sebuah Industri, yaitu kumpulan dari perusahaan sejenis menurut teori ekonomi. Maka, Customer dalam model tersebut mungkin ultimate user namun mungkin pula industrial user. Karena, pada dasarnya, sebuah industri juga pasti terangkai dengan industri lain.
Maka, SCM mencoba untuk mengubah tekanan yang berasal dari Supplier dan Customer tersebut menjadi sebuah kekuatan untuk menciptakan barrier to entry dengan cara menghilangkan inefisensi pada mata rantai sistem.
Porter1
Oleh karena itu, SCM menggunakan terminologi Upstream untuk mata rantai pasokan dan Downstream untuk mata rantai pengguna. Manajemen terhadap Upstream dikenal dengan PRM atau Partner Relationship Management, dan manajemen terhadap Downstream dikenal dengan CRM atau Customer Relationship Management. SCM atau Supply Chain Management mencakup kedua manajemen tersebut.
scm1
SCM dengan demikian akan melibatkan berbagai disiplin ilmu dan berbagai perspektif manajemen baik kualitatif maupun kuantitatif  untuk mewujudkan tujuan mendistribusi dan memproduksi barang dari Supplier hingga ke Customer. Teknologi Informasi, dalam hal ini, juga menjadi sarana untuk menunjang tercapainya tujuan tersebut ketika data dalam jumlah sangat besar harus dipertukarkan secara cepat, akurat, dan murah.
Ke empat, menurut Game Theory, Business is a game, non zero sum games[3]. Artinya, persaingan dalam bisnis memunculkan berbagai macam kemungkinan keseimbangan dan bukan menang-kalah. Dalam hal ini, John F Nash[4] mengajukan proposal mengenai Coopoerative Games yang menghapus asumsi kompetisi dalam Games Theory. Dia mendapat banyak kritikan atas proposalnya dan dianggap melemahkan semangat kompetisi yang diagungkan sebagai sarana untuk mewujudkan kemakmuran.
Game Theory
Bila semangat kompetisi yang dipegang maka ke dua pesaing dalam tabel Game Theory diatas[5] akan sama-sama memperoleh nilai 2, padahal ada potensi untuk memperoleh nilai yang lebih baik bagi keduanya yaitu 10, dengan syarat mereka harus mau bekerja sama. Artinya, mereka berdua sepakat untuk sama-sama menggunakan strategi satu dan tidak ada yang menciderai kesepakatan tersebut karena potensi untuk menciderai bagi keduanya cukup besar. Namun, sekali salah satu menciderai kesepakatan tersebut  maka yang lain dengan segera juga akan segera melepas kesepakatan dan persaingan akan kembali terjadi.
Jadi, dengan empat perspektif tersebut, SCM adalah sebuah perkembangan yang alami dan harus terjadi ketika sumber tidak lagi melimpah dan persaingan dirasakan akan semakin membunuh.  Bentuk-bentuk aliansi bisnis seperti Sony-Ericson, KLM-North West, Nissan-Ford, IBM-Toshiba, dll.,  menjelaskan bagaimana persaingan diubah menjadi kerjasama yang saling menguntungkan.
(http://fe.uajy.net/fs/as/

Leader and Manager

Masih banyak dimensi pemahaman mengenai Leader atau Pemimpin dan Manager atau Manajer yang berbeda, tergantung sudut pandang dan latar belakang keilmuan yang mereka miliki. Lihat pula Management untuk telaah kritis. Perbedaan ini, sampai dengan tingkat tertentu tidak menjadi masalah. Namun, ketika yang menjadi obyek pembicaraan adalah organisasi yang merupakan kumpulan dua orang atau lebih dan mempunyai paling sedikit tujuan umum yang sama, maka perbedaan pemahaman itu harus dikelola dengan baik agar esensi pemahaman terhadap proses manajerial tidak begitu kabur. Sebagai contoh, pemimpin sebuah pondok pesantren menjalankan peran manajer untuk mngelola atau manajemen pondok pesantren tersebut. Pemimpin keluarga menjalan fungsi manajemen keluarga.
Manager atau Manajer adalah orang sang yang “nggulowenthah, nyrateni, dan ngupokoro” sumber-sumber organisasi dan  sumber insani dalam organisasi untuk mewujudkan tujuan organisasi secara bersama. Kata “nggulowenthah, nyrateni, dan ngupokoro” mempunyai makna mengelola segala sesuatu dan memimpin manusia dalam organisasi.
Literatur klasik manajemen sejak Harold Koontz and Cyril O’Donnell hingga James Stoner telah menegaskan bahwa manajemen adalah suatu prosess.
Secara umum ada empat fungsi manajemen, yaitu Planning, Organizing, Leading, dan Controlling. Memimpin adalah padanan Leading, yang artinya memerankan fungsi kepemimpinan atau leadership. Kemampuan untuk memimpin sebuah organisasi dalam menjalankan proses manajemen akan menjadi penanda bagi manajemen sebuah unit organisasi.
Memimpin berarti berada di depan,  memenunjukkan arah, memberi contoh, menjadi tauladan dalam proses manajemen, dan menggerakkan anggota organisasi ke arah yang dikehendaki oleh organisasi . Oleh karena itu, seorang pemimpin mempunyai sumber-sumber kekuasaan
Kosa kata  manajer mencerminkan seseorang yang  mengelola sebuah unit organisasi dimana sumber insani bekerja sama untuk menggunakan sumber-sumber organisasi guna mewujudkan paling sedikit tujuan umum yang sama. Jadi, yang dikelola adalah sumber insani ketika menggunakan sumber-sumber organisasi karena manajer tidak bisa bekerja sendiri. Itulah hakekat manajemen.
Oleh karena itu, sebenarya tidak perlu lagi untuk mempertentangkan antara Leader dan Manager ketika konteks pembicaraannya adalah manajemen organisasi. Seorang manajer pasti seorang pemimpin, yaitu pemimpin yang memimpin organisasi. Tidak bisa dibayangkan bagaimana kalau seorang manajer organiisasi bukan pemimpin organisasi itu.
Pemimpin adalah orang yang memimpin, yaitu orang yang selalu berada didepan dan inisiator, ideator, inspirator bagi insan organisasi untuk bertindak dan bekerja dalam kegiatan organisasi . Maka, dalam berbagai penjelasan mengenai manajemen dikenal empat fungsi manajemen, yaitu Leading, Organizing, Leading, dan Controlling. Artinya, fungsi  leading itu melekat dalam pemahaman fungsi-fungsi manajemen..
Maka,  David T Morgenthaler[1] merumuskan paduan Manager dan Leader itu kedalam sebuah Matrix dengan parameter Strong and Weak. Artinya, ada dimensi Weak Manager  hingga Strong Manager dan Weak Leader hingga Strong Leader. Artinya, ada empat dimensi Leader & Manager:
  • Weak Manager weak Leader
  • Weak Manager strong Leader
  • Strong Manager weak Leader
  • Strong Manager strong Leader
Yang paling ideal adalah kombinasi Strong Manager dan Strong Leader.
Literatur klasik seperti Blake & Mouton Grid [1957] dimensi concern to people dan concern to production dimana resultante dari keduanya akan menjelaskan leadership[ style . Kemudian Reddin’s 3D Leadership Model yang megembangkan model dua dimensi  Ohio studies yaitu Task-orientation dan  Relationships-orientation dan menambahkan dimensi ketiga yaitu Effectiveness untuk menandai leadership style yang tepat.
Di sisi yang lain,  Contingency Theory melihat keunikan organisasi menghendaki pendekatan yang khusus. maka, dalam leadership atau kepemimpinan  dikenal Transactional Leader yaitu Ordinary Leader atau administrative leader yaitu pemimpin yang menjalankan  business as usual. Sebaliknya, Transformational Leader adalah pemimpin yang mengantar anggotanya untuk melakukan suatu perubahan. Disini sangat jelas bagaimana pemimpin  tidak mungkin melakukan perubahan sendiri. Kemampuan untuk menggerakkan orang lain itu adalah keahlian kepemimpinan dalam suatu proses manajemen. (http://fe.uajy.net/fs/as/

MUDA dan Tata Ruang

Seiring dengan pemahanan awal tentang dua continuum proses produksi, tata ruang atau layout juga mengacu pada kedua continuum tersebut. Maka, dikenal Functional Layout dimana mesin dan peralatan ditata sesuai dengan fungsinya; Line Layout dimana peralatan atau mesin ditata sesuai dengan urutan penyelesaian produk dan merupakan sebuah dedicated system.
Tahun 1958 an Mitrofanov, S.P., 1958, “The Scientific Principles of Group Technology” menulis tentang Group Layout untuk mengerjakan produk yang serumpun. Pertanyaan Mitrofanov sederhana, yaitu “bagaimana kalau Functional Layout harus mengerjakan variasi produk yang besar dengan volume yang besar pula namun tidak cukup ekonomis untuk dikerjakan dengan Line Layout? Maka, Mitrofanov muncul dengan proposal Group Technology yaitu pengelompokan produk yang bisa dikerjakan oleh teknologi yang sama, dan kemudian disebut family of parts atau rumpun produk. Ide Group Technology tentu saja menghendaki lay out yang berbeda dari yang sudah diketahui. Maka, muncul Cellular Layout dimana mesin-mesin disusun berdasar kebutuhan teknologi yang sesuai untuk mengerjakan rumpun produk. Group lay out pada dasarnya merupkana kombinasi dari Line layout dengan Fungtional layout.
Perkembangan tata ruang terakhir sebelum muncul fenomena baru di Gemba sekitar tahun 1950 an adalah proposal Mitrofanov. Perkembangan selanjutnya setelah teknologi digital berkembang adalah Young & Green [1. Young, C. & Greene, A., Flexible Manufacturing Systems. New York, NY: AMA Membership Publication Division, 1986. p.35.]
Proses
Apa yang dikemukakan oleh Young and Green tersebut belum banyak berubah hingga tahun 2009. Perkembangan teknologi mesin cetak yang bisa menghasilkan ribuan halaman per menit tanpa plate langsung dari file dan langsung dijilid masuk di Special System, sedang perkembangan One Piece Flow masuk di Cell/Special Machine. Artinya, variasi yang ada tersebut sudah mewadahi berbagai kemungkinan variasi. Berbagai variasi model proses tersebut tentu saja menghendaki tata ruang yang sesuai dengan tuntutan model.
Dari berbagai kajian mengenai tata ruang tersebut lazim berazal dari kajian akademik. Dalam fenomena Ky’zen di Gemba,  mereka menemukan tata ruang yang mengandung
OPM1
Untuk One Piece Flow Method, dimana operator bekerja mengikuti alur proses pengerjaan produk, seperti tampak dalam gambar diatas, operator harus kembali ke tempat semula setelah proses di tahap akhir. Ini menciptakan Muda transportasi. Maka, layout diubah menjad:
OPM2
U layout yang mengubah line layout dalam One Piece Flow Method muncul karena muda transportasi dimana operator harus kembali ketempat awal setiap kali proses. Dengan U layout operator tidak perlu berjalan jauh untuk memulai proses lagi. Eliminasi MUDA Transportasi ini memunculkan penghematran penggunaan ruang atau space utilization.
Kasus lain penghilangan MUDA yang berujung kepada U layout adalah:OPM3
Dalam gambar diatas ada dua mesin yang digunakan dalam proses yang melibatkan dua operator. Ini dilihat sebagai MUDA of Process. Operator di akhir proses itu dianggap MUDA karena pekerjaannya bisa dirangkap oleh operator di awal proses. Maka, perubahan L layout menjadi U layout telah mengeliminasi MUDA of process.
OPM4
Kunci dari layout  U adalah di Takt Time, yaitu waktu standard untuk mengerjakan pekerjaan yang diperhitungkan selaras dengan waktu standard pada rangkaian pekerjaan yang lain didalam sistem. Esensinya adalah menghilangkan Muda of Waiting, Muda of Transportation, Muda, of Process, dan Muda of Inventory.  Waktu dari satu proses ke proses berikutnya selaras. Artinya, kecepatan manusia bekerja adalah bagian dari kecepatan seluruh sistem yang sebagian mekanik. Dengan kata lain, Takt Time membuat paduan kecepatan bekerja antara manusia dengan mesin menjadi harmonis.
(http://fe.uajy.net/fs/as/)

KY’ZEN

KY’ZEN

Kyzen
Menurut  Wikipedia[1]: Kaizen, dan menurut Masaaki Imai:  Ky’zen[2].  Ky’zen terdiri dari dua huruf yaitu 改 (“ky”) dalam bahasa Jepang yang berarti berubah atau perubahan, sedang 善 (“zen”) berarti baik. Jadi, Ky’zen kurang lebih berarti perubahan menjadi lebih baik.  Dalam organisasi dimaknai sebagai perbaikan terus menerus tiada henti yang melibatkan seluruh anggota organbisasi.
Ky’zen adalah ruh bagi  The Japanese Management Practices.  Semua fenomena yang muncul di Gemba semata-mata disemangati oleh Ruh ini, karena ini bagian dari budaya masyarakat Jepang.

Perbaikan itu tidak pernah ada target, sama dengan sebelumnya berarti tidak ada perbaikan. Betapun kecil perubahan kearah yang lebih baik itu sudah cukup dari pada sama dengan sebelumnya. Misal bulan ini tingkat absensi 5%, maka bila bulan yang akan datang menjadi 4.99% itu sudah baik dibanding masih tetap 5%.
(http://fe.uajy.net/fs/as/)

Just In Time

Salah satu fenomena ilmu pengetahuan di abad 20 adalah kemunculan paradigma baru di bidang Operations Management yang dipicu oleh Japanese Management Pratices. Fenomena ini menandai kemunculan istilah Just In Time yang justru diberikan oleh para ilmuwan barat.

Istilah Just In Time sulit ditelusuri dari mana asalnya, namun ada dua peristiwa yang bisa menjadi penanda atas kemunculan fenomena tersebut. Pertama adalah kisah Taiichi Ohno yang ke Amerika pada 1950 untuk belajar ke General Motor namun justru mendapat inspirasi dari pasar swalayan disana untuk diterapkan di Toyota , dan ke dua adalah kasus industri galangan kapal di Jepang setelah perang dunia ke dua yang kekurangan permintaan atau over supply.
Ke dua fenomena tersebut menandai perubahan cara pikir dan cara padang mereka dalam praktek manajemen. Bahkan Productions and Operations Management Conference 1996 di Indianapolis perlu mengangkat tema The New Paradigm in Operations Management and The New Paradigm in Teaching Operations Management untuk menanggapi fenomena perubahan tersebut.
Inti dari Japanese Management Practices yang berkembang sejak kedua fenomena tersebut adalah perubahan dari Push System yang sebelumnya diterima sebagai sebuah kebenaran dalam manufacturing management ke Pull System. Dengan kata lain Pull System adalah anti tesa terhadap Push System. Gugatan Pull System ini kemudian menimbulkan dampak berantai terhadap setiap problem solving and decision making process yang bertumpu pada pengeliminasian Muda atau Waste yaitu segala sesuatu yang tidak mempunyai nilai tambah.
Cara pikir dan cara pandang yang baru ini sungguh revolusioner dalam melihat bagaimana produktivitas sebuah sistem harus ditingkatkan. Produktivitas adalah perbandingan antara output dengan input. Semakin besar output, given input, maka akan semakin besar produktivitasnya. Dalam sebuah sistem, perbedaan nilai output dari input disebabkan oleh penciptaan nilai dalam proses. Dengan kata lain, penciptaan nilai dalam proses membuat input bernilai tambah di output. Bila input 1000 dan output 1500 maka penciptaan nilai tambah dalam proses adalah 500. Masalahnya, didalam proses secara bersamaan diciptakan sekaligus Added Value dan Non Added Value. Cara pandang yang baru ini lebih menitik beratkan ke hasil, sehingga untuk meningkatkan Produktivitas, bukan Added Value yang ditiungkatkan, tetapi Non Added Value yang dieliminasi. Download file added_value . Silahkan memainkan simulasi file ini untuk mengetahui bagaimana jalan pikiran menaikkan produktivitas bukan dengan menaikkan Added Value tetapi dengan mengeliminasi.
.

Added Value vs Non Added Value

Nilai Tambah atau Added Value diciptakan dalam proses sehingga nilai output berbeda dari nilai input. Akan tetapi, dalam proses itu bukan hanya Added Value yang diciptakan, tetapi juga Non Added Value. Akibatnya output adalah gabungan dari Aded Value dan Non Added Value. Fenomena Japanese Management Practices, yang dipicu oleh penerapan Pull System, berusaha untuk mengeliminasi Non Added Value dalam proses sehingga output meningkat. Disamping itu, dalam konsep Pull System terkandung sebuah pesan untuk tidak mengirim Non Added Value kepada konsumen. Taguchi menjelaskan konsep ini dengan baik dalam kurva Loss Function-nya. Intinya, menghasilkan produk atau jasa sesuai dengan target value akan menghasilkan biaya terendah bagi konsumen , masyarakat maupun produsen. Sebaliknya, bila produk atau jasa dihasilkan tidak sesuai dengan target value maka salah satu pihak pasti harus menanggung kenaikan biayanya. Bisa produsen karena haru memproduksi barang atau jasa dengan biaya tinggi yang sebenarnya tidak dikehendaki konsumen, atau masyarakat/konsumen yang harus menderita karena harus membeli barang atau jasa yang tidak sesuai dengan harapannya.
The new way of looking and the new way of thinking ini secara gradual memunculkan temuan-temuan baru baru di Gemba atau shop floor atau tempat kerja. Akibat berantai dari perubahan Push System ke Pull System bisa di-identifikasi dari penurunan Biaya, penurunan Persediaan , dan perbaikan Kualitas.
Akibat lain yang muncul karena mandat pengeliminasian Muda adalah U Layout. Bukan hanya U Layout, tetapi juga konfigurasi tempat kerja baik produk maupun jasa, tak ketinggalan disain alat, meja kantor yang curve, dsb tidak lepas dari badai eliminasi Muda.
Disamping itu, usaha untuk tidak menghasilkan barang yang jelek telah menyemai penggunaan Poka Yoke, yaitu alat hasil inovasi di Gemba untuk mengurangi kesalahan. Poka Yoke bermacam-macam bentuk dan perannya. dari yang paling sederhana seperti penggunaan warna dalam Visual Management, hingga sensor yang serba otomatis dan terintegrasi.
Muda atau pemborosan bisa dikelompokkan menjadi:
  • Pemborosan untuk menunggu
  • Pemborosan dalam transportasi atau perjalanan
  • Pemborosan memproduksi produk atau jasa yang tidak baik
  • Pemborosan untuk menyimpan persediaan dalam jumlah banyak
  • Pemborosan produksi dalam jumlah banyak yang tidak diperlukan
  • Pemborosan dalam proses
  • Pemborosan dalam beraktifitas yang tidak perlu
Pemborosan yang paling fatal adalah pemborosan karena tidak mengetahui adanya pemborosan.
Dalam perkembangannya, Just In Time yang pada awalnya muncul di Gemba, akhirnya menjadi sebuah kebenaran dalam manajemen ketika fenomena persaingan dunia menunjukkan bahwa dalam banyak fakta yang ditemukan oleh Russell, American Manufacturing Industries kalah dalam hal persaingan kualitas dengan Japanese Manufacturing Industries. Disamping itu, fenomena yang diamati oleh Michael Kidron dan Ronald Segal dalam The State of World Atlas menunjukkan bagaimana superior perkembangan produktivitas setiap jengkal tanah di Jepang terhadap Amerika.

.

Pull System

Konsep Pull System membawa perubahan makna yang revolusioner terhadap kata customer atau pelanggan. Dalam konsep Pull System, Pelanggan adalah next to us, atau siapa saja yang membutuhkan jasa atau produk kita. Sekali lagi siapa saja, jadi tidak harus mereka yang berada diluar orgabisasi. Dengan demikian pendorong ide, kegiatan, dan penentu parameter produk atau jasa seperti waktu, jumlah, disain, adalah pelanggan. Melakukan segala sesuatu seperti yang dikehendaki oleh pelanggan adalah mandat. Bila pelanggan mengehendaki hari ini dikirim telur bebek warna kuning 10 butir jangan dikirim besok warna kuning 10 butir atau hari warna hijau ini 10 butir atau hari ini warna kuning 8 butir, atau kemarin warna kuning 10 butir. Di pabrik Honda terpampang tulisan besar yang mudah dibaca dan menjadi pengingat bagi siapa saja sehingga masuk di daerah sub sadar:
  • Jangan menerima produk cacad
  • Jangan membuat produk cacad
  • Jangan mengirim produk cacad
Jelas sekali bahwa tanggungjawab terhadap hasil atau output menjadi tanggung-renteng bagi mereka yang terlibat didalam proses dimana setiap orang bertanggungjawab terhadap hasil pekerjaannya. Dan, pelanggan itu adalah siapapun next to us, yang membutuhkan jasa atau produk kita. Hal yang di Push System tidak terjadi. Dalam konsep Pull System ini jelas terlihat bagaimana manusia adalah tumpuan utama perbaikan; tujuan dan sekaligus cara untuk menghasilkan produk atau jasa yang baik sesuai dengan harapan pelanggan. Maka, Kyzen berarti Continous Improvement Involving all organization members, sebenarnya adalah ruh bagi Just In Time.
.

PEMAHAMAN YANG SALAH PADA KONSEP  ZERO INVENTORY

Banyak yang memahami Just In Time sebagai ZERO INVENTORY. Pemahaman ini sebenarnya sama sekali tidak salah, hanya kurang tepat. Just In Time tidak mengenal Zero Inventory, tetapi few inventory. Just In Time mengenal Zero Defect. Bahkan ada yang dengan lantang mengatakan bahwa Just In Time adalah Sure Unrealistic termasuk kolega saya yang entah kulakan dari mana, atau bahkan kolega lain lebih absurd yaitu bahwa dengan Just In Time maka EOQ tidak lagi diperlukan. Waduuuh….
Kalau kita perhatikan model EOQ yang deterministik itu, maka konsep Just In Time sebenarnya sudah ada disana. Mari kita lihat dalam gambar berikut.
Q adalah Economic Order Quantity. Y adalah satu siklus pesanan. Persediaan sebesar Q pada t0 akan habis atau sebesar nol pada saat t2. Lead Time atau waktu datangnya pesanan sejak pesanan dibuat adalah L. Maka, saat memesan kembali atau re-order point adalah L atau t1-t2. Atau setelah persediaan tinggal sebesar R. Bila pesanan dibuat pada saat itu maka pada saat t2 yaitu ketika persediaan habis, pesanaan tepat datang. Just In Time bukan? Kondisi ini akan menyebabkan Total Inventory Cost= Holding Cost + Setup Cost menjadi minimum.
Namun, Just In Time tidak murni demikian. Kalau EOQ menggabungkan P System dan Q System sehingga P dan Q selalu sama untuk setiap Y maka Pull System yang memunculkan sistem Kanban yang artinya card atau kartu hasil inovasi Taiichi Ohno setelah melihat swalayan di Amerika telah membuat Setup Cost menjadi lebih rendah.
Karena Set Up Cost lebih rendah maka kurva Setup Cost bergeser ke kiri dan akibatnya Q optimal juga bergeser ke kiri atau lebih sedikit dan Total Inventory Cost turun. Fenomena Few Inventory dalam JIT terjadi seperti ini. Jadi, JIT tidak mengenal Zero Inventory, tetapi Few Inventory. Kata yang lebih mudah dihapahami mungkin : persediaan secukupnya.
Simulasi Excel berikut ini bisa digunakan untuk melihat bagaimana perubahan itu terjadi. Turunkan Setup Cost maka fenomena few inventory, bukan zero inventory, itu akan terlihat. Kehadiran Mizusumashi dalam sistem Kanban yang dipandu oleh Andon, yaitu visual management untuk menandai kebutuhan persediaan pada setiap unit kerja dan membuat persediaan selalu tersedia pada saat dibutuhkan. Sistem ini agak berbeda dengan EOQ yang menggabungkan P System dan Q System sehingga Periode tetap dan jumlah pesanan selalu tetap, dalam sistem Kanban justru Periode selalu berubah demikian pula jumlah pesanan, sesuai dengan kebutuhan. Jadi, sebenarnya, perbedaan mendasar antara sistem Kanban dalam Just In Time dengan EOQ adalah pada sistem informasi yang menyebabkan P atau periode pesanan selalau sama dan Q atau unit yang dipesan selalau sama sehingga setup cost lebih rendah dan mengakibatkan Q bergeser ke kiri atau few inventory. Download file EOQ untuk melakukan siumulasi guna mengetahui bagaimana perubahan setup cost mempengaruhi Q optimal.

.

FENOMENA DAMPAK BERANTAI

Fenomena kemunculan Pull System yang tampak dari gejala di galangan kapal setelah perang dunia II dan inovasi Taiichi Ohno di Toyota, sebenarnya menimbulkan dampak berantai yang sekaligus terjadi pada :
  • penurunan persediaan yang menyebabkan pertambahan ruang dan penghematan modal kerja.
  • tepat waktu produksi yang menghilangkan berbagai pemborosan biaya seperti waktu menunggu, produksi terlalu banyak.
  • tepat jumlah produksi yang menghilangkan pemborosan produksi yang tidak perlu, penghematan ruang persediaan.
  • perubahan tata letak yang menyebabkan penghilangan pemborosan penggunaan ruang, transportasi, waktu.
  • tepat kualitas atau sesuai dengan target value yang menyebabkan pelanggan tidak harus menerima produk atau jasa yang sebenarnya tidak diinginkan, atau produsen tidak perlu memproduksi yang sebenarnya tidak digunakan oleh masyarakat.
Perubahan-perubahan itu secara simultan berantai bisa di-identifikasi menyebabkan:
  • Penurunan Biaya
  • Penurunan Persediaan
  • Perbaikan kualitas
Hasil dari the new way of looking dan the new way of thinking ini adalah laba yang semakin meningkat dan sebagai konsekuensi logis akan memperbaiki return on investment ketika perubahan terus menerus itu dilakakan bukan dengan menambah investasi secara signifikan. Literatur baerat menami fenomena ini dengan Lean Manufacturing dan sudah banyak perusahaan-perusahaan besar mengarah kesana.

JIDOKA




JIDOKA terdiri dari tiga aksara
yang berarti, kurang lebih atau
kira-kira, kegiatan yang berjalan
sendiri, setara dengan otomasi 

Di Toyota Production System,
Penggantian aksara kedua
memberi tekanan pada peranan
manusia yang lebih otonom.





Kata kunci lain dari Pull System adalah JIDOKA yaitu  pemberian otonomi yang lebih besar kepada karyawan atau operator untuk melakukan keputusan yang berkaitan dengan aktifitas operasi dibidang kerjanya. Bentuk otonomi atau pemberian wewenang yang lebih besar ini tidak lepas dari eliminasi Muda di Pull System dimana 3 don’t diterapkan yaitu,
  • don’t accept bad product
  • don’t make bad product
  • dont’t delivere bad product
Ini benar-benar masuk akal, bagaimana mungkin 3 don’t diterapkan tetapi operator atau pekerja tidak diberi keleluasaan untuk menyelesaikan masalahnya. Dalam literatur barat, usaha untuk lebih melibatkan karyawan dalamproses pembuatan keputusan atau pemberian wewenang yang lebih besar dalam wilayah pekerjaannya dikenal dengan Job Enrichment.
Jidoka memungkinkan para pekerja untuk membuat keputusan dan mencari jalan keluar sendiri terhadap masalah yang dihadapi. Jidoka juga memunculkan fenomena quality on the  spot yang mendukung Zero Defect. Begitu abnormalitas terjadi maka unit kerja dimana abnormalitas terjadi langsung berhenti dan Andon merah menyala yang memberi tanda bahwa unit kerja tersebut sedang bermasalah. Maka operator di lini juga langsung berhenti dan membantu untuk mencari jalan keluar terhadap masalah yang sedang dihadapi oleh unit kerja yang sedang bermasalah tersebut. Cara ini jelas sekali bertentangan dengan cara pandang dan cara pikir lama dimana wewenang untuk menghentikan proses ada di supervisor. Maka, meskipun terjadi abnosmalitas proses terus berjalan meskipun sudah diketahui. Cara pandang dan cara pikir baru melihat proses selanjutnya untuk abnormalitas adalah Muda. Bayangkan berapa unit kerja lagi yang akan dilewati sebelum inspeksi barang jadi terakhir dan berapa banyak Muda yang akan dihasilkan?
Output dari Jidoka, disamping Quality On The Spot, juga inovative problem solving termasuk ide-ide inovatif untuk membuat peralatan atau alat bantu. Berbeagai alat bantu yang sekarang muncul di pasar sebagain besar muncul dari ide memecahkan masalah di tempat kerja. Ide-ide ini mengalir di Quality Circle atau pada saat mereka berhadapan langsung dengan masalah dan kemudian mengembangkannya dalam Quality Circle, yaitu kelompok yang secara sukarela bertkumpul untuk memecahkan masalah ditempat kerja.
Disamping itu, Jidoka juga menjadi stimuli bagi diri pekerja untuk semakin terlibat dalam kerja karena diberi kepercayaan yang lebih besar sehingga merasa lebih bertanggungjawab terhadap hasil kerjanya. Namun harus diingat, ruh Ky’zen yang menggerakkan sehingga Jidoka berjalan, semangat untuk terus menerus memperbaiki dengan cara memberi wewenang yang lebih besar kepada para pekerja untuk menyeselsaikan masalah pekerjaannya. Tidak salah kalau Toyota mengatakan bahwa “Employee satisfaction as the key to Customer satisfaction“  dan dengan tegas pula mengtakan “The System is alive“. Sistem yang berkembang di Gemba menjadi hidup karena ruh Ky’zen yang memunculkan Jidoka dan membuat keterlibatan pekerja atau operator semakin tinggi sehingga sistem itu tidak membeku atau tidak berkembang.
Dari sudut pandang Organizational Behaviour, sistem itu bukan lagi sekedar sebuah manufacturing system tetapi sudah menjelma menjadi Socio Technical System dimana tahap yang dilalui adalah:
  • Job Satisfaction
    • Employee Involvement
      • Organizational Commitment

Ketiga tahap ini dalam praktek tidak mudah diwujudkan karena peranan lingkungan ekonomi, sosial dan budaya yang sangat kuat. Job satisfaction, sebagai misal, karyawan di sebuah negara belum tentu sama dengan karyawan di negara lain.  Lingkungan sosial dan ekonomi, termasuk persaingan bisnis,  terutama yang sangat mempengaruhinya sehingga bahkan tahap awal Job Satisfaction pun tidak mudah diwujudkan, apalagi untuk melangkah ke tahap selanjutnya. Para praktisi sering mengeluh mengenai betapa sulitnya menumbuhkian self of belonging karyawan. Mungkin hal semacam ini juga dijumpai di ATM dan AHM yang di Jakarta. Namun hal serupa tidak dijumpai di Honda Philippines yang karyawannya antara 20-22 th.  Disana tidak ada supervisor yang gentayangan di Gemba karena Jidoka berjalan.  Salah satu middle managernya bahkan sedang berpikir keras bagaimana nanti kalau mereka berusia 25 keatas dan beristri.  Mungkin inilah yang membedakan, lingkungan Japanese Management Practices dan Indonesian Management Practices, Phillippines Management Practices yang memang sangat mungkin berbeda.

Inventory Theory

Pertanyaan yang harus dijawab ketika akan mengadakan persediaan bahan baku atau bahan pembantu adalah berapa harus dibeli, kapan harus dibeli, dan dimana harus dibeli pada saat proses perencanaan. Jawaban terhadap pertanyaan ini dicari  agar efisiensi dan efektifitas operasi dijaga.  Secara teoritik, masalah utama persediaan atau Inventory adalah meminumkan Biaya Total Persediaan atau Total Inventory Cost.
Inventory

Ada empat macam kategori biaya yang terlibat dalam masalah Persediaan, yaitu:
Biaya Pesan atau Ordering Cost, yaitu biaya-biaya langsung yang timbul atau bisa di-iedentifikasi karena pengadaan persediaan seperti Biaya Telp, Fax, Perjalanan, dan biaya lain-lain.
Biaya Pembelian atau Purchase Cost, yaitu biaya langsung yang berhubungan atau bisa di-identifikasi dengan harga persediaan.  Jenis biaya ini disamping dibutuhkan pada saat penentuan parameter biaya persediaan yang berupa proporsi atau persentase antara biaya simpan per unit per periode dengan harga persediaan, juga dibutuhkan oleh model Quantity Discount ketika Volume persediaan menjadi penentu harga.
Biaya Kehabisan Persediaan atau Stock Out Cost, yaitu biaya yang timbul karena persediaan tidak tersedia pada saat proses berjalan. Biaya jenis ini pada umumnya berupa opportunity cost dan bisa dipisahkan menjadi dua yaitu internal opportunity cost dan external opportunity cost. Internal Opportunity Cost berupa idle capacity baik tenaga kerja maupun mesin. Akibatnya adalah average cost naik karena unit yang diproduksi per periode turun. Dengan kata lain, satuan biaya produk pasti akan naik. Ini rentetannya akan menjadi panjang karena hitumngan investasi didasarkan pada proceed yang bersumber pada kemampaun organisasi untu menghasilkan output.  Sedang External Opportunity Cost berupa opportunity gain yang hilang karena kepuasan pelanggan menurun atau pasar di-isi oleh pesaing karena output berkurang sehingga pasar mencari subtitusi. Dampaknya akan etrlihat pada penurunan penjualan yang juga akan berakibat panjang bagi organisasi, mulai dari kembalian investasi,  retrurn on investment. hingga pertumbuhan organisasi.
Biaya Persediaan atau Holding Cost berupa biaya langsung yang bisa di-identifikasi dengan munculnya persediaan di gudang seperti biaya asuransi, keamanan, listrik, perawatan, dan biaya-lain-lain. Jenis biaya ini bisa dinyatakan dalam  biaya satuan persediaan per unit per periode atau dalam proporsi antaraharga persediaan dengan total biaya persediaan dalam satu periode.
`

Inventory Management

Dimensi Manajemen Persediaan atau Inventory Management mencakup:
  • Persediaan output atau barang jadi
  • Persediaan barang dalam proses
  • Persediaan bahan baku
  • Persediaan bahan pembantu
Diantara ke-empat dimensi persediaan tersebut, persediaan dalam proses atau work in process lebih berkaitan dengan Job Shop Management atau Gemba. Kebijaksanaan yang bersumber pada filosofi Tata Ruang dan Proses akan menentukan besar kecilnya atau perlu tidaknya persediaan dalam proses. Sedang dimensi persediaan bahan pembantu tidak terkait langsung dalam proses utama namun lebih merupakan turunan dari kegiatan proses utama. Agar lebih memudahkan untuk memahami manajemen persediaan dari awal hingga akhir maka bagan berikut mungkin membantu.

Picture4
Kegiatan bisnis dimulai dari penjualan atau sales. Apa yang akan dijual dan berapa banyak akan dijual, serta kapan akan dijual adalah awal pertanyaan yang harus dijawab dalam proses perencanaan. Setelah jawaban diperoleh dari hasil sebuah rangkaian analisis yang bisa dipertanggungjawabkan maka pertanyaan berikutnya adalah apa yang harus diproduksi,  berapa unit harus diproduksi, dimana harus diproduksi, dan kapan harus diproduksi.Jawaban terhadap pertanyaan-pertanyaan ini merupakan output dari Proses Penjadwalan atau Scheduling Process.
Persediaan barang jadi dan rencana persediaan barang jadi di akhir periode menjadi parameter proses penjadwalan, sedang Prediksi Penjadwalan menjadi Variabel. Outputnya sdalah unit yamng akan diproduksi. Secara sederhana, unit yang akan diproduksi= persediaan awal + rencana penjualan – persediaan akhir. Output dari proses penjadwalan ini adalah Rencana Produksi yang kemudian akan diturunkan menjadi kebutuhan bahan baku, tenaga kerja, dan factory overhead.
Manajemen Persediaan bila domainnya adalah persediaan bahan baku maka inputnya adalah output proses penjadwalan. Berapa unit yang akan diproduksi menjadi variabel proses manajemen persediaan dengan parameter persediaan awal bahan baku dan persediaan akhir bahan baku, sedang outputnya adalah berapa unit persediaan yang harus dibeli, kapan hareus dibeli, dan dimana harus dibeli. Dalam hal ini, jelas sekali terminologi Production Planning and Inventory Control atau Perencanaan dan Pengendalian Produksi dan Persediaan yang menjelaskan hubungan antara perencanaan dan ;pengendalian produksi dalam proses penjadwalan dengan perencanaan produksi dan pengendalian persediaan bahan baku. Dalam praktek, masih banyak dijumpai proses tersebut tidak terintegrasi sehingga sering menyebabkan persediaan menumpuk yang berakibat pada rendahnya perputaran persediaan dan opportunity cost positif dana yang tertanam di persediaan.

HEIJUNKA

Ky’zen, yang terdiri dari dua makna penting yaitu:
  • perbaikan terus menerus tiada henti
  • melibatkan seluruh anggota organisasi
telah merasuki berbagai pemikiran di manajemen operasi sehingga memuculkan berbagai fenomena baru yang berasal dari pengalaman di Gemba dan bukan berasal dari kajian akademik di perguruan tinggi, seperti 5S, Pull System, Muda,  Jidoka dan berbagai artefak alat bantu dan peralatan.
Heijunka, yang juga tersemangati oleh Ky’zen,  muncul untuk menghilangkan Muda di penjadwalan operasi. Cara pandang dan cara pikir lama selama ini terpaku pada dua continuum yaitu Job Shop dan Flow Shop. Kedua continuum tersebut memiliki karakteristik proses dan penjadwalan yang dipandang mengandung Muda oleh cara pikir dan cara pandang baru tersebut.
Job Shop bekerja untuk memenuhi pesanan, tata ruang berdasar fungsi masing-masing peralatan, alur proses mengikuti tahapan penyelesaian produk, proses tidak teratur atau intermittent sehingga work in process tinggi, dan penjadwalan menyebabkan beban kerja masing-masing unit kerja atau peralatan tidak seimbang sehingga sering terjadi idle capacity, bagaimana kalau pesanan semakin bervariasi dalam jumlah, disain, dan spesifikasi?
Proses1
Flow Shop, bekerja untuk memenuhi permintaan gudang atau bagian distribusi. Tata ruang diatur sesuai dengan urutan penyelesaian produk  demikian pula prosesnya, proses teratur atau continous sehingga work in process relatif sangat kecil, dan penjadwalan hanya untuk satu jenis produk saja untuk setiap kali proses. Bagaimana kalau harus mengerjakan produk yang bervariasi?
Meskipun diantara kedua continuum tersebut masih ada berbagai variasi proses dan di poros tengahnya ditemukanFlexible Manufacturing System namun Hejiunka melihatnya dengan cara pandang yang beda.
Dalam Pull System dikenal Batch Flow dimana barang secara batch atau kelompok  mengalir dari satu unit kerja ke unit kerja yang lain, dan One Piece Flow dimana hanya satu barang yang mengalir pada setiap kali proses yang melewati setiap unit kerja. Dalam kedua model ini aliran proses dari satu unit kerja ke unit kerja berikutnya teratur sesuai dengan siklus prosesnya sehingga work in process bisa tetap dijaga rendah. Dalam hal ini,  Jidoka memungkinkan terjadinya mekanisme interupsi yang mengendalikan work in process di unit yang bermasalah menumpuk.
Heijunka, memandang idle capacity di line atau rangkaian unit kerja adalah Muda. Maka, Heijunka menghilangkan Muda tersebut melalui dua cara yaitu:
  • volume produksi
  • jenis atau macam produksi
kombinasi kedua cara ini untuk meminimumkan idle capacity pada line atau rangkaian unit kerja adalah esensi dari Hejunka sehingga production level pada setiap unit kerja cenderung akan stabil. Sebagai ilustrasi, adalah lebih baik dalam satu line mengerjakan berbagai macam produk tetapi tingkat produksi terjaga dari pada hanya satu macam produk tetapi tingkat produksi berfluktuasi. Praktek lapangan menurut cara pandang dan cara pikir lama adalah satu line hanya untuk satu macam produk saja, sehingga pilihan penjadwalannya adalah :
  • bekerja di economic of scale dengan resiko menyimpan persediaan yang beresiko pada kenaikan biaya penyimpanan, atau
  • dibawah economic of scale dengan resiko idle capacity yang berakibat pada kenaikan biaya rata-rata operasi.
EOS

HEIJUNKA

Ky’zen, yang terdiri dari dua makna penting yaitu:
  • perbaikan terus menerus tiada henti
  • melibatkan seluruh anggota organisasi
telah merasuki berbagai pemikiran di manajemen operasi sehingga memuculkan berbagai fenomena baru yang berasal dari pengalaman di Gemba dan bukan berasal dari kajian akademik di perguruan tinggi, seperti 5S, Pull System, Muda,  Jidoka dan berbagai artefak alat bantu dan peralatan.
Heijunka, yang juga tersemangati oleh Ky’zen,  muncul untuk menghilangkan Muda di penjadwalan operasi. Cara pandang dan cara pikir lama selama ini terpaku pada dua continuum yaitu Job Shop dan Flow Shop. Kedua continuum tersebut memiliki karakteristik proses dan penjadwalan yang dipandang mengandung Muda oleh cara pikir dan cara pandang baru tersebut.
Job Shop bekerja untuk memenuhi pesanan, tata ruang berdasar fungsi masing-masing peralatan, alur proses mengikuti tahapan penyelesaian produk, proses tidak teratur atau intermittent sehingga work in process tinggi, dan penjadwalan menyebabkan beban kerja masing-masing unit kerja atau peralatan tidak seimbang sehingga sering terjadi idle capacity, bagaimana kalau pesanan semakin bervariasi dalam jumlah, disain, dan spesifikasi?
Flow Shop, bekerja untuk memenuhi permintaan gudang atau bagian distribusi. Tata ruang diatur sesuai dengan urutan penyelesaian produk  demikian pula prosesnya, proses teratur atau continous sehingga work in process relatif sangat kecil, dan penjadwalan hanya untuk satu jenis produk saja untuk setiap kali proses. Bagaimana kalau harus mengerjakan produk yang bervariasi?
Meskipun diantara kedua continuum tersebut masih ada berbagai variasi proses dan di poros tengahnya ditemukanFlexible Manufacturing System namun Hejiunka melihatnya dengan cara pandang yang beda.
Dalam Pull System dikenal Batch Flow dimana barang secara batch atau kelompok  mengalir dari satu unit kerja ke unit kerja yang lain, dan One Piece Flow dimana hanya satu barang yang mengalir pada setiap kali proses yang melewati setiap unit kerja. Dalam kedua model ini aliran proses dari satu unit kerja ke unit kerja berikutnya teratur sesuai dengan siklus prosesnya sehingga work in process bisa tetap dijaga rendah. Dalam hal ini,  Jidoka memungkinkan terjadinya mekanisme interupsi yang mengendalikan work in process di unit yang bermasalah menumpuk.
Heijunka, memandang idle capacity di line atau rangkaian unit kerja adalah Muda. Maka, Heijunka menghilangkan Muda tersebut melalui dua cara yaitu:
  • volume produksi
  • jenis atau macam produksi
kombinasi kedua cara ini untuk meminimumkan idle capacity pada line atau rangkaian unit kerja adalah esensi dari Hejunka sehingga production level pada setiap unit kerja cenderung akan stabil. Sebagai ilustrasi, adalah lebih baik dalam satu line mengerjakan berbagai macam produk tetapi tingkat produksi terjaga dari pada hanya satu macam produk tetapi tingkat produksi berfluktuasi. Praktek lapangan menurut cara pandang dan cara pikir lama adalah satu line hanya untuk satu macam produk saja, sehingga pilihan penjadwalannya adalah :
  • bekerja di economic of scale dengan resiko menyimpan persediaan yang beresiko pada kenaikan biaya penyimpanan, atau
  • dibawah economic of scale dengan resiko idle capacity yang berakibat pada kenaikan biaya rata-rata operasi.
Jadi, cara pandang dan cara pikir lama dalam penjadwalan yang menganut mazab Push System akan selalu melakukan trade off diantara kedua resiko tersebut.
Heijunka yang bermazab Pull System mencari solusi lain yaitu dengan memainkan Volume dan Variasi Produk dalam penjadwalan sehingga trade off itu dihilangkan dan sistem beroperasi pada tingkat operasi yang dikehendaki dan tidak fluktuatif untuk meminimumkan idle capacity sehingga biaya rata-rata cenderung minimum.
Dalam suatu hari, di production line, bisa saja terjadi ada berbagai variasi produksi dan variasi jumlah produksi. Bukan hanya masalah resiko trade off yang dihilangkan tetapi juga memenuhi kepuasan pelanggan tepat waktu, tepat, jumlah, dan tepat sepesifikasi. Di Honda, terjadi di production line,  beberapa tipe kendaraan dan warna berbeda diproduksi dalam satu hari. Juga, Toshiba, dalam satu hari di production line bisa dijumpai beberapa model Refrigerator dengan warna yang berbeda-beda. Inilah esensi dari Heijunka. Ini tentu saja berbeda dengan cara pandang dan cara pikir lama dimana dalam satu production line hanya satu jenis produk yang diproduksi.



KANBAN MENDUKUNG HEIJUNKA
Bagaimana mungkin dalam satu hari di production line terdapat beberapa variasi produk dengan jumlah yang berbeda pula? Kuncimya adalah di Kanban sebagai sebuah sistem informasi persediaan dan sekaligus sistem pemasok persediaan.
Rencana produksi harian diturunkan menjadi rencana kebutuhan suku cadang dengan informasi mengenai kebutuhan seperti jumlah, unit kerja yang membutuhkan,  lokasi, dan kapan dibutuhkan. Sebenarnya hampir mirip dengan MRP yang menggabungkan sekaligus Scheduling dan Inventory Control. Namun, MRP tidak berbicara mengenai penjadwalan produksi, hanya penjadwalan kapan persediaan harus dipesan, kapan harus datang, danberapa jumlahnya.  Master Scheduling adalah input MRP. Jadi, Heijunka justru mulai dari penjadwalan produksi yang mengutamakan yang meminimumkan idle capacity dan diturunkan ke panjadwalan persediaan secara bertahap dan berangkai dengan Pull System; mulai dari level 0 kalau di MRP hingga ke level yang paling bawah. Ini berlaku untuk semua jenis assembly line, misal Water Pump, Generator, Car, Refrigerator, dll, Sebagai contoh,  bila mobil adalah level 0 maka nut and bolt mungkin di level terbawah. Semuanya secara detil baik jumlah, waktu harus tersedia, dan lokasi tertera di Kanban.
Pull
Heijunka bukan hanya menggabungkan Scheduling dan Inventory Control, tetapi juga meminimumkan idle capacity sehingga output dari Heijunka, adalah penjadwalan produksi dengan volume produksi yang stabil dan meminimumkan idle capacity. Dengan Pull System, penjadwalan produksi itu ditunjang oleh sistem Kanban dimana Mizushumasi mengalirlkan persediaan dari gudang penyangga ke unit kerja dan pemasok memenuhi permintaan gudang penyangga.
Jadi, fenomena Just In Time memang tidak bisa dilihat sepotong-sepotong, misal fallacious concept atau salah kaprah dalam memahami JIT sebagai  zero inventory; setiap fenomena yang lahir selalu bisa dijelaskan dengan argumentasi logis dalam kaitannya dengan Ruh Ky’zen, perbaikan terus menerus tiada akhir yang melibatkan semua anggota organisasi.

Management

Pemahaman Management atau Manajemen sebagai sebuah kosa kata mungkin dipahami berbeda dan seluas pemahaman orang mengenai makna kosa kata itu sendiri. Lihat sebagai misal ambiguitas Management di Wikipedia http://en.wikipedia.org/wiki/. Bila ada sebuah organisasi bisnis out performed maka management menjadi object yang harus dihujat. Orang dengan mudah mengatakan mis management, manajemen amburadul, manajemennya tidak baik, dsb. Pertanyaan yang muncul kemudian adalah Apakah manajemen itu dan bagaimana manajemen itu sehingga orang dengan mudah menimpakan segala masalah organisasi kepadanya?
Mungkin agak sulit untuk menelusuri asal muasal kemunculan istilah tersebut untuk memaknai apa yang terjadi dalam interaksi umat manusia dalam berkarya. Kata kerja manage berasal dari bahasa Italia maneggiare yang artinya mengendalikan, khususnya kuda dan diturunkan dari bahasa Latin manus yang artinya tangan. Dalam bahasa Perancis kata mesnagement dan kemudian berkembang menjadi ménagement dipengaruhi oleh arti management dalam bahasa Inggris di abad 17 dan 18. [Wikipedia]
Banyak penulis kemudian memunculkan penjelasan berbeda-beda dan terus berkembang. Bila ditelusuri kebelakang, maka sebenarnya manajemen sudah ada dalam setiap kegiatan dimana dua orang atau lebih saling bekerja sama untuk mewujudkan tujuan bersama. Mungkin karena keterkejutan atas kemunculan fenomena-fenomena akibat dampak revolusi Industri, maka para pemikir barat baru menaruh perhatian sejak saat itu. Mungkin, fenomena-fenomena timur dengan bahasa timur dan morfologi timur yang beraneka ragam kurang menarik perhatian pada saat itu, meskipun fenomenanya sama, yaitu bagaimana manusia terlibat bekerjasama untuk mewujudkan tujuan umum yang sama.
Moses
Kisah perjalanan Musa menyiratkan adanya pengelolaan terhadap proses perjalanan menuju tujuan. Mulai dari perencanaan yang tentu saja tidak mudah hingga pengelolaan didalam proses perjalanan. Dan, pelajaran menarik telah diberikan oleh mertua Musa ketika melihatnya selalu kerepotan untuk memecahkan berbagai masalah sejak pagi. Maka beliau menyarankan agar Musa membagi mereka dalam kelompok-kelompok serta memecahkan terlebih dahulu masalah mereka dalam kelompok. Mungkin inilah pelajaran tertua organisasi mengenai Divisionalisasi dan Rentang Kendali. Disamping itu, kasus menara Bibel juga telah memberi palajaran mengenai cita-cita atau perencanaan yang tak realistik dan bagaimana komunikasi dalam organisasi diperlukan untuk mewujudkan tujuan yang sama.
images
Demikian pula dengan berbagai proses pembangunan Piramida di Mesir yang tidak sederhana dan melibatkan ribuan pekerja serta artsitektur yang tidak sederhana. Ilmu pengetahuan modern belum bisa memecahkan misteri jendela di salah satu Piramida yang tepat ke arah bintang Orion. Tanpa pengetahuan yang memadai, koordinasi tentu sulit dilakukan.

great-wall-of-china
Juga maha proyek The Great Wall atau Tembok Besar China yang panjangnya 2484 miles dan terlihat dari ruang angkasa. dengan mengkoordinasikan beberapa kerajaan dan dikerjakan oleh ribuan orang dari beberapa generasi. Bayangkan, bagaimana mengkoordinasi sumber-sumber untuk membangun tembok diatas gunung-gunung dengan iklim empat musim. Pasti bukan hal yang sederhana.
Borobudur


Tak ketinggalan candi besar Borobudur yang dibangun diatas Bukit dengan menggunakan bebatuan dari gunung disekitarnya dan pembangunannya juga melibatkan beberapa generasi. Bahkan satuan ukurnyapun belum bisa dipecahkan oleh ilmu pengetahuan saat ini, termasuk fenomena posisi bangunan terhadap kutub serta fenomena Waicak dimana bulan purnama akan selalau tepat berada diatas puncak stupa

Sewu
Demikian pula dengan kompleks di Candi Prambanan dimana Hinduisme dan Budhisme bersanding seakan memberi pesan kepada generasinya bahwa perbedaan dalam harmoni itu bisa diwujudkan. Icon-icon karya besar manusia pada jaman itu pasti didahului oleh ide mengenai tujuan yang hendak diwujudkan dan kemudian dituangkan dalam tahapan tindakan. Monumen besar karya manusia itu jelas melibatkan jumlah sumber daya yang luar biasa banyak, seperti manusia, logistik, bahan baku, serta rentang waktu yang sangat panjang dan bahkan antar generasi. Tanpa proses tata kelola dan knowledge management yang memadai niscaya bangunan itu bisa terwujud, alih-alih seperti menara Bibel. Sayangnya, orang lebih melihat kehebatan monumen itu namun jarang yang tertarik untuk berpikir bagaimana proses pembangunannya sehingga monumen itu bisa terwujud. Mungkin karena monumen-monumen itu berasal dari timur di abad pertama yang bahasanya masih dipelajari ketika peradaban tulisan barat mulai merambah dunia lain seiring dengan semangat penjelajahan dan penjajahan mereka sejak The Great Alexander. Artinya, pelajaran mengenai manajemen dan organisasi itu sebenarnya sudah ada sejak manusia mulai bekerjsa sama untuk mewujudkan tujuan yang sama.
main_journ

Nagasaki
Sebuah ironi terjadi lagi ketika dunia dikagetkan oleh keberhasilan Jepang yang seakan baru bangkit setelah perang dunia ke dua. Seakan bangsa Jepang tidak mempunyai pengetahuan sebelumnya. Karena ilmu pengetahuan Jepang selama ini ditulis dalam aksara Jepang dan tidak banyak yang tahu, sedang aksara latin yang lebih banyak menguasai.  Maka, tidak banyak yang tahu bagaimana proses Jepang menang perang terhadap Rusia pada tahun 1905 yang menginspirasi kelahiran Boedi Oetomo di Indoensia. Padahal, pada saat itu Isoroku Yamamoto, yang di tahun 1941 menjadi admiral di super-battleship Yamato dan punya ide untuk menyerang Pearl Harbour, kehilangan dua jarinya di Tsushima saat perang dengan Rusia tahun 1905 itu. Dekade berikutnya, Jepang sudah mampu membangun sejumlah armada kapal induk seperti Akagi, Hiryu, Kanga, Hiryu, Soryu [ http://www.janesoceania.com/midway_battle/index.htm ], dan bahkan

Yamamoto
Zero1
super-battleship Yamato [Φ watch video] diluncurkan tahun 1941. Juga armada pesawat terbang Zero [Φ watch video], sistem komunikasi, senjata, dan amunisi yang digunakan untuk menyerang Pearl Harbour 1941 dan Midway 1945 [Φ watch video]. Mungkin filmnya lebih menarik barangkali. Jelas, mereka sudah mempunyai pengetahuan manajemen untuk mewujudkan itu semua. Namun, jarang sekali, pengetahuan itu menjadi literatur pelajaran manajemen yang mendampingi literatur barat.
Jadi, sebenarnya proses manajemen dalam pemahaman yang berasal dari tulisan penulis-penulis barat itu sudah ada sebelum mereka menulis. Hanya karena faktor bahasa dan penjelejahan dan penjajahan bangsa barat maka akhirnya aksara latin lebih dominan dan demikian pula dengan tulisan-tulisan mereka.

adam smith

Elton Mayo

Mary Parker Follet
Kalau menurut teori evolusi manajemen, awalnya adalah teori klasik seperti Adam Smith, dan kemudian bercabang menjadi dua yaitu Henry
Henry Fayol
FW Taylor
Fayol – Teori Organisasi Klasik yang berbicara pertama kali mengenai bentuk organisasi bisnis, dan FW Taylor-Scientific Management yang mulai menerapkan kaidah-kaidah ilmiu pengetahuan di pabrik. Teori Organisasi klasik kemudian dilanjutkan kelahiran Psikologi Industri oleh Elton Mayo, sedang Scientific Management dilanjutkan oleh kehadiran Operations Research atau Management Science. Capstone dari dua cabang ini adalah Contingency Theory dan System Theory.
Namun demikian, untuk menelusuri pemikiran orang barat mengenai manajemen ada satu pendapat yang pantas diperhatikan yaitu Marry Parkert Follet. Mungkin karena latar belakang beliau adalah orang politik maka cara pandangnya agak berbeda. Bahkan sebenarnya, belIau sudah menandaskan mengenai pentingnya power sharing jauh sebelum Peter Drucker menulis Management by Objective.
Yang menarik dari pemikiran MPF adalah sintesa antara Collectivism dan Individualism, yang mengiringi perang kedua ideologi berabad-abad. Dalam hal ini, eksiklik gereja katolik sejak Rerum Novarum dan selama ratusan tahun berikutnya juga berkutat soal sintesa kedua ideologi tersebut, bahkan hingga ensiklik John Paul II seiring dengan pergolakan panjang di Polandia. MPF, dalam hal ini mulai memunculkan pemikirannya mengenai power sharing, hal yang mungkin sulit diterima di barat di jamannya. Pemikirannya mengenai manajemen sebagai “geting things done through other people” mungkin banyak dilandasi oleh sintesanya. Hal ini tentu saja berbeda dengan pandangan para penulis barat di bidang manajemen seperti Kontz, Stoner, dll. Namun, kini sudah mulai banyak penelitian mengenai Values among The Nations, misal Hofstede, dan mungkin akan memunculkan keunikan manajemen di berbagai bangsa yang akan semakin membuka pemikiran manajemen di berbagai bangsa. Robbins and Judges bahkan dalam bukunya Organizational Behavior and Management mengajak para peneliti di berbagai dunia untuk bekerja sama.
Jadi, manajemen sebenarnya ada disekitar kita dan kita lakukan ketika kegiatan atau proses untuk mengelola sumber-sumber, seperti dana, sumber daya insani, logistik, waktu, pikiran, teknologi, kreatifitas untuk mewujudkan sesuatu yang bisa beruwujud atau tidak berwujud. Manajemen diri adalah praktek manajemen pertama kali yang dipelajari sambil melakukan. Ini sebenarnya paling mudah karena mengendalikan diri sendiri, namun juga paling sulit karena mengendalikan diri sendiri itu tidak mudah. Orang bijak berkata bahwa musuh paling besar manusia adalah diri sendiri.  Memimpin diri sendiri dan mengatakan “tidak” adalah hal yang tidak mudah dalam manajemen diri. Berlanjut ke manajemen keluarga yang sedikit lebih rumit karena sudah melibatkan orang lain.  Dengan demikian Manajemen itu bukan sesuatu yang asing dalam hidup kita, manajemen bisa dirasakan dan bisa dilihat hasilnya.