Six Sigma telah menjadi perbincangan dan
bahkan telah menjadi simbol tentang kesempurnaan dibidang kualitas.
Berbagai pendapat telah mengulas mengenai The Origin os Six Sigma,
sebagai misal yang ada di ISix Sigma
[1] Masing-masing dengan perspektifnya. Apakah Six Sigma itu ?
Pertama, kosa kata
Sigma itu memang digunakan untuk menandai hal yang sama yaitu deviasi terhadap
mean atau rata-rata dalam
quality control techniques. Walter A. Shewhart
[2] adalah founding father
[3],
Statistical Process Control atau SPC. Dalam SPC,
sigma dengan notasi
σ, digunakan untuk menandai satuan besar penyimpangan atau deviasi terhadap rata-rata sehingga bisa ditetapkan
Upper Control Limit dan
Lower Control Limit. Satuan sigma dalam SPC ini pada dasarnya sama dengan satuan sigma dalam distribusi Gauss
[4] Kurva Gaussian Normal adalah continous distribution yang termasuk dalam kelompok bell shape, dengan
expected value μ dan variance σ
2. Kurva
ini simterik ini menjelaskan bahwa kurva simetrik itu juga mempunyai
deviasi simterik pula, yaitu σ= ± 1, σ= ± 2, dan σ= ± 3 . Jadi, notasi
σ atau yang diucapkan dengan sigma memang notasi umum yang digunakan
dalam Statistik sejak jaman Gauss untuk distribusi Gauss hingga ke
Walter Shewhart untuk
Statistical Process Control.
Gauss distribution juga memberi gambaran luas wilayah pada
masing-masing interval deviasi. Antara -1σ ke +1σ : 68.26%, -2σ ke +2σ :
95.44%, dan -3σ ke +3σ : 99.72%. Dengan demikian cukup jelas bahwa
notasi σ atau sigma yang telah digunakan oleh Gauss dalam distribusinya
tetap digunakan pula oleh Walther A. Shewart untuk SPC-nya. Memang ada
ada berbagai macam SPC, namun dasarnya tetap sama. Penetapan parameter
- Sigma dalam SPC pada dasarnya tergantung kepada manajemen, Semakin
besar Sigma, misal 3σ berarti kontrol semakin longgar, namun
sebaliknya semakin kecil Sigma misal 1σ maka semakin ketat kontrol.
Ke dua,
Six Sigma Motorolla. Fenomena
zero defect di
Toyota Production System telah membuat gerah tim SPC Motorola. Kerja Deming, Juran, dan Crosby yang mencoba untuk menyibak fenomena
Japanese Management Practices itu,
masing-masing dengan preposisinya, tampaknya belum memenuhi rasa
penasaran mereka. Maka, Motorolla mengembangkan sebuah model untuk
menandai tingkat pencapaian kualitas dengan meng-inovasi distribusi
Gauss dan SPC. Lahirlah Six Sigma Motorola
[5].
Inovasi yang dilakukan oleh Motorola terhadap SPC nya Shewart ada dua, yaitu:
memperlebar deviasi dari 3σ menjadi 6σ. Sebagai sebuah pdf atau
probability density function [6] pelebaran deviasi dari 3σ menjadi 6σ ini membawa digit sampai sembilan untuk 6σ.
- mengkonversi skala deviasi menjadi setara dengan skala ppm kependekan dari Part Per Milion defect.
Perhatikan bahwa 6σ berarti 0.02 ppm, atau dalam satu juta parts yang
dihasilkan terdapat 0.02 yang cacad. Dengan demikian, bisa dibayangkan
dengan mudah bila menghasilkan satu milyar parts maka akan ada 2 parts
yang tidak memenuhi spesifikasi. Bayangkan! Inilah mungkin target zero defect-nya Motorola.
Namun demikian, meskipun stadard deviasi digeser ± 1.5σ maka proses tidak akan mungkin lebih baik dari 3.4 ppm atau 2 ppb atau
part per billion defects.
Maka, standard ini selanjutnya menjadi target kemampuan Motorola
dibidang disain produk, produksi, dan pelayanan pada tahun 1992
[7]
Dalam perkembangan selanjutnya, Six Sigma telah menjadi sebuah metoda untuk
contionous iprocess mprovement dengan metodologi tertentu yang dikembangkan oleh berbagai lembaga
[8].
Juga, Six Sigma yang pada awalnya dikembangkan oleh Motorola telah
menjadi icon bagi jaminan kualitas sebuah lembaga konsultan.
(http://fe.uajy.net/fs/as/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar